Aku
bergegas menaiki bus yang tampak renta. Dari jendela kaca, mataku nanar
menangkap aroma kelelahan yang menjalar pada wajah para penumpang yang bergegas. Seperti diriku, aku pun tak
menangkap jawaban kelelahan wajah-wajah itu. Entah untuk sebuah keberangkatan, atau
untuk sebuah kepulangan. Hanya, kalimat pada sepucuk surat yang aku terima pagi
ini dapat menjadi petunjuk bagi diriku sendiri. Setidaknya keberangkatanku dari
terminal ini, adalah untuk sebuah kepulangan.
Seseorang
telah mencuri hujan di mataku. Kau harus pulang hari ini! Demikian isi surat
yang kini ku genggam erat, seiring keraguan yang mulai mengendap. Apakah
keberangkatanku, atau tepatnya kepulanganku ini tidak sia-sia? Hanya untuk
persoalan hujan?
Bus
mulai berjalan. Asap hitam memenuhi udara. Menebar aroma tikus got dan bau
roda-roda bus yang basah air kencing. Tembok-tembok pembatas terminal bercerita
tentang sebuah tangan kekar yang menyisakan jari tengah tegak berdiri. Di
sampingnya nampak lukisan seorang laki-laki bertubuh gempal dengan tato
bergambar perempuan telanjang. Mungkin sudah ribuan penumpang -termasuk aku-
menyimak gambar-gambar yang lebih tepat aku simpulkan sebagai galeri kekuasaan penguasa
terminal. Beberapa penumpang mungkin ketakutan menyimaknya. Tapi tidak bagiku.
Yang aku takutkan hanya ini; keputusan untuk pulang.
Terminal
kian jauh meninggalkanku. Ia tampak kecil dan tak sangar seperti yang ia
tunjukan pada tombok-tembok pembatasnya. Kini, hanya deretan pohon-pohon lapuk
berjalan di sepanjang jalan. Mataku tak sanggup menatapnya. Mereka membuat isi perutku
keluar. Pohon-pohon yang berjalan itulah kiranya yang membuatku lebih suka
memilih duduk di dekat sopir dalam setiap perjalanan. Setidaknya, dengan duduk
di dekat sopir, aku hanya merasa pusing, dan memuntahkan isi perut ketika
sampai tujuan.
Ragu
kian mengendap. Ku baca berulang-ulang isi surat yang memintaku untuk berangkat
pulang. Hanya untuk sebuah persolan hujan? Ah, perempuan memang suka dengan
hujan. Biarlah, aku yakinkan diriku bahwa kepulanganku tidak sia-sia. Meski
hanya untuk persoalan hujan.
Ingatanku
mendarat pada sebuah tempat dimana dulu aku dipertemukan oleh hujan dengan
perempuan yang kini memintaku untuk pulang karena alasan hujan. Sepele memang.
Namun, karena hujan jualah aku menjadi tahu rahasia-rahasia yang terkubur di
dalam matanya. Berpuluh-puluh tahun aku berburu rahasia-rahasia aneh pada sosok
perempuan. Karena hujan jualah aku mengetahui segalanya, meski kini aku mulai
lupa aromanya.
Ia
berkata padaku, andai saja langit itu adalah bola matanya, pasti ia akan
menurunkan hujan tiap waktu. Dan ia akan merasa hidup pada bagian dunia yang
paling sunyi. Dunia dimana hanya ia dan Tuhan saja yang memahaminya.
“Dari
hujan itulah aku membuatmu ada” katanya, “Dan hujan lah yang akan membawamu
pulang ke pelukanku, meski bermil-mil jarak perjalanan kau tempuh”.
Aku
gagal menerjemahkan kalimatnya, hingga bus yang lelah ini pada ahirnya harus
membawaku pulang kepadanya setelah bermil-mil dan beribu-ribu waktu
menjauhkanku darinya. Tiba-tiba aku takut. Takut perempuan itu akan memintaku
untuk menerjemahkan kalimat-kalimatnya. Di kota, aku tak menjumpai buku-buku
yang dapat membantuku untuk menerjemahkannya. Juga pada kitab-kitab suci. Aku
gelisah. Terlempar pada sebuah pulau yang sangat terpencil dan berpenghuni
kesunyian. Aku berharap akan ada malaikat yang duduk di sampingku, dan membantu
menerjemahkan kalimatnya. Atau hujan yang segera turun membasuh mukaku. Mungkinkah
ia masih ingin memelukku?
Kadang
aku merasa hidup ini hanya soal-soal sepele. Entah bagi orang lain, termasuk
perempuan itu. Tapi setidaknya perasaanku itu diamini oleh sebuah kisah pada
sebuah koran yang aku temukan melekat di kaca bus. Seorang gadis belia bunuh
diri hanya karena kekasihnya lupa membelikan hadiah ulang tahun. Atau sebuah
kisah di balik koran itu, seorang bapak membakar tubuhnya hanya karena tak bisa
membelikan susu untuk anaknya. Betapa sepele bukan?
Bus
berhenti sejenak. Rupanya ia butuh energi untuk melanjutkan perjalanan. Setelah
diisi bahan bakar, ia melaju kencang. Aku meminta agar sopir melambatkan
perjalanan. Ku katakan kepadanya bahwa aku berani membayar lebih mahal untuk
perjalanan ini. Juga ku katakan kepada penumpang lain bahwa aku takut jika bus
ini terlalu kencang, aku tidak akan dipeluk oleh perempuan yang mengirim surat
kepadaku pagi ini.
Mereka
menjawab dengan diam. Sebagian tidur, sebagain lagi menjawabnya dengan muntahan
isi perut yang berupa-rupa warna dan beraneka aroma. Aku sampaikan kepada sopir
bahwa penumpang lain juga menyetujui ideku. Bus berjalan pelan. Sekali lagi aku
merepotkan sopir dengan bertanya berapa jam lagi bus ini sampai ke terminal
terahir. Lima jam lagi katanya.
Waktu
yang semoga cukup, benakku. Cukup untuk berfikir sejenak dari hal-hal sepele
seperti hujan misalnya. Atau kalimat; meski bermil-mil jarak yang kau tempuh,
kau pasti akan pulang!.
“Apakah
tujuan kita sama?” seseorang yang muntah tadi meminta jawaban dariku.
“Bus
ini akan mengantar kita semua pada tujuan yang sama. Terminal!”
“Maksudku,
apakah kita akan menuju kota yang sama?”
“Tidak!
Aku akan menuju sebuah tempat sunyi dimana seorang perempuan menungguku untuk
menerjemahkan hujan!”
“Kalau
begitu kebetulan, tujuan kita tidak beda, nak”
Aku
terkejut. Mungkinkah dunia ini serba kebetulan, atau memang Tuhan menggariskan
kehidupan seseorang dengan lainnya sama? Anaknya yang semata wayang memintanya
untuk pulang dengan membawa hujan. Lelaki ini berkata kepadaku bahwa sudah lama
anaknya tidak bermain hujan. Di kampungya, kata lelaki pemabuk ini, kemarau
telah merenggut keceriaan anaknya dari hujan. Dan kini, ia tak tahu bagaimana
membawa pulang hujan sementara kemarau nampak enggan bergantian.
“Aku
akan menangis untuk anakku jika memang hujan enggan turun” katanya, menghibur
diri.
Menangis?
Ide yang bagus, benaku. Tapi mungkinkah air mata adalah terjemahan dari hujan?
Dan mungkinkah jika hujan yang ku terjemahkan demikian ia masih mau memelukku?
Setidaknya satu jawaban telah aku temukan. Kemungkinan yang lainnya masih ku
reka-reka.
Lelaki
yang kini duduk di sebelahku ini pulas. Mungkin ia yakin dengan jawaban yang
dilontarkan kepadaku tadi. Aku beranjak. Mendekati penumpang lain yang masih
melek. Kalau-kalau yang masih melek itu punya tujuan yang sama denganku, dan dengan
demikian aku akan mendapat jawaban yang lain.
“Apakah
tempat tujuan kita sama bu?”
“Semua
yang ada di bus ini punya tujuan yang sama. Terminal!” matanya tak bersahabat.
“Maksudku,
apakah kita akan menuju kota yang sama?”
“Tidak!
Tujuanku adalah ke kota dimana hujan tak pernah berhenti!”
“Kalau
begitu kebetulan, tujuan kita tidak beda, bu”
“Kebetulan,
katamu? Tidak mungkin! Hidup bukanlah soal kebetulan!”
“Dan
soal hujan bu?”
“Aku
hanya rindu pada hujan. Di kota ku tak pernah ada hujan. Jadi aku pulang untuk
soal hujan saja!
“Maksudku,
mungkin hujan adalah sesuatu yang sangat berarti bagi ibu?
“Ya.
Hujan sangat berarti bagiku. Hujan mendekatkanku pada Tuhan. Hanya hujan yang
mengerti Tuhan. Merindukan hujan, berarti merindukan Tuhan!”
Kemungkinan
kedua setelah jawaban lelaki tadi adalah; merindukan hujan, berarti merindukan
Tuhan! Baiklah, aku akan menyimpan jawaban ibu ini. Aku akan menyusunnya
begini; sayang, aku datang membawa hujan. Lihatlah kedua bola mataku, dan
usaplah kedua pipiku. Hujan di mataku membasahi pipi. Atau kemudian begini;
sayang, sekarang aku paham, kerinduanmu kepada hujan, adalah keinginanmu
bertemu Tuhan. Penerjemahanku terhadap hujan yang baru ku susun dalam kepalaku
ini sementara cukup untuk menyusul pulas laki-laki yang duduk di sebelahku.
Tiga
puluh menit lagi sampai. Begitu sang sopir memberitahukan kepada kami. Semua
penumpang bersiap-siap. Sesekali mata mereka memandang ke arah kiri dan kanan
jendela bus.
***
Ku
ketuk pintu yang akrab dengan ingatanku. Tiga kali tak ada jawaban. Tujuh kali,
sesosok tubuh perempuan dengan wajah sendu muncul. Aku terpaku lama di depan
pintu. Muncul rasa ingin berlari dari pintu yang selangkah lagi aku sampai pada
tujuan perjalanan. Sunyi menyergap dari berbagai arah. Pulau-pula yang
berpenghuni sunyi melayang-layang di mataku. Lalu mendarat di gagang pintu
seorang perempuan yang memintaku pulang.
“Kenapa
ibu menangis?”
“Seseorang
telah mencuri hujan di mataku” katanya, memelukku.
Aku
diam. Ingatanku melayang pada jawaban-jawaban si lelaki pemabuk dan ibu renta yang
matanya kurang bersahabat tadi.
Kepada
Perempuan Yang Ku Panggil Ibu
Purbalingga,
Januari 2012
bagus sekali jalan ceritanya ditambah lagi kalimat majasnya makin memperindah cerita
ReplyDelete