Kepada Si Jabang Bayi

By
Advertisement

Prolog

Ah, rupanya ada tamu di malam Jum’at Kliwon. Ia mengetuk-ngetuk pintu rumah pukul sebelas malam. Saya dan istri bukannya tidak mendengar atau tidak mau membukakan pintu untuk si tamu. Akan tetapi, kami tidak sanggup memaksa alam. Sebab, tamu yang mengetuk pintu rumah kami, adalah utusan alam. Karena itu, sekedar untuk membuka pintu, kami serahkan kepada Tuhan. Dan, rupanya Tuhan tidak terlelap meski waktu sudah menunjukan tengara pukul dua pagi. Tepat setelah hujan berganti gerimis, kami pun bisa memandang secara utuh, bentuk dan wujud tamu si utusan alam.

Ah, perempuan rupanya. Cantik. Cantik sekali. Sungguh! Matanya sipit laiknya mata-mata si empunya Sakura. Bibirnya tipis serupa bibir penduduk negeri tirai bambu. Lesung pipinya, persis seperti lesung pipit rakyat Mahatma Gandhi. Hidungnya, sebentuk gunung separuh, laiknya gunung-gunung di negeri para mafia, Indonesia. Tapi, tidak! Betapapun, kami tetap menyilahkan si tamu jatuh dalam peluk dan gendongan kami. Ya, dialah si jabang bayi, buah hati kami yang kedua. Setelah adzan dan iqomat selesai lirih berkumandang di telinga kiri dan kanan, seketika itu pula dari ujung tuts laptop rusak ini, lahir beberapa baris, yang dengan percaya diri saya sebut puisi. Puisi ini lahir dari keberadaan si tamu di rumah kami, ketika kami tengah asyik menyimak monolog kopi yang sepertinya sudah mulai dingin. Dan, inilah bentuk susunan kata-kata yang saya sebut puisi untuk si jabang bayi itu.

Si Jabang Bayi
Dedicated to Nabila Sastra Shakeela

Inilah aku, bapa, si jabang bayi
Si jabang bayi, bapa?
Si jabang bayi

Ini rupaku, bapa, rupaku
Tembangkan kepada langit pagi, bapa?
Tentang mata sipit anak-anak Tar-Tar
Tentang lesung pipit papa Mahatma Gandhi
Atau tentang kulit tubuh si tuan Sakura

Ini tangisku, bapa, tangisanku
Ceritakan pada dunia, bapa?
Sebentuk jasad yang terkurung waktu sembilan bulan
Sebujur tubuh yang kerap kau sembur dengan mantera semacam doa
Bagi harapan yang jelas terbaca dari sudut palung dadamu yang paling gelisah

Ah, bapa, bapa!
Segeralah kau sembur kedua telingaku
Dengan azan dan iqomah yang sempat kau lupakan
Sebelum subuh mempermalukanmu di mata alam

Lihatlah, bapa?
Hujan telah berganti gerimis
Dan gelap sebentar lagi selesai bersetubuh dengan malam
Sambutlah matahari yang kehausan
Embun dan sebait puisi
Serta sesosok tamu yang kau tunggu dengan lelah berkepanjangan

Ini aku, bapa, anakmu
Anakmu, bapa?
Anakmu!

Purbalingga, 31 Mei 2013 usai hujan berhenti menangis

    

8 comments:

  1. Semoga anaknya dah gak rewel lagi, cepet gede yah....
    bantu si bapak bisnis online. hehe...

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. sesuai dengan kurikulum berkarakter ya mas?

      Delete
  3. tangisan bayi
    langit menetesi bumi
    tanda bahagia alami
    menimang buah hati

    selamat ya untuk kelahiran anak kedua !

    ReplyDelete