Kepada Si Jabang Bayi

By // 8 comments:

Prolog

Ah, rupanya ada tamu di malam Jum’at Kliwon. Ia mengetuk-ngetuk pintu rumah pukul sebelas malam. Saya dan istri bukannya tidak mendengar atau tidak mau membukakan pintu untuk si tamu. Akan tetapi, kami tidak sanggup memaksa alam. Sebab, tamu yang mengetuk pintu rumah kami, adalah utusan alam. Karena itu, sekedar untuk membuka pintu, kami serahkan kepada Tuhan. Dan, rupanya Tuhan tidak terlelap meski waktu sudah menunjukan tengara pukul dua pagi. Tepat setelah hujan berganti gerimis, kami pun bisa memandang secara utuh, bentuk dan wujud tamu si utusan alam.

Ah, perempuan rupanya. Cantik. Cantik sekali. Sungguh! Matanya sipit laiknya mata-mata si empunya Sakura. Bibirnya tipis serupa bibir penduduk negeri tirai bambu. Lesung pipinya, persis seperti lesung pipit rakyat Mahatma Gandhi. Hidungnya, sebentuk gunung separuh, laiknya gunung-gunung di negeri para mafia, Indonesia. Tapi, tidak! Betapapun, kami tetap menyilahkan si tamu jatuh dalam peluk dan gendongan kami. Ya, dialah si jabang bayi, buah hati kami yang kedua. Setelah adzan dan iqomat selesai lirih berkumandang di telinga kiri dan kanan, seketika itu pula dari ujung tuts laptop rusak ini, lahir beberapa baris, yang dengan percaya diri saya sebut puisi. Puisi ini lahir dari keberadaan si tamu di rumah kami, ketika kami tengah asyik menyimak monolog kopi yang sepertinya sudah mulai dingin. Dan, inilah bentuk susunan kata-kata yang saya sebut puisi untuk si jabang bayi itu.

Si Jabang Bayi
Dedicated to Nabila Sastra Shakeela

Inilah aku, bapa, si jabang bayi
Si jabang bayi, bapa?
Si jabang bayi

Ini rupaku, bapa, rupaku
Tembangkan kepada langit pagi, bapa?
Tentang mata sipit anak-anak Tar-Tar
Tentang lesung pipit papa Mahatma Gandhi
Atau tentang kulit tubuh si tuan Sakura

Ini tangisku, bapa, tangisanku
Ceritakan pada dunia, bapa?
Sebentuk jasad yang terkurung waktu sembilan bulan
Sebujur tubuh yang kerap kau sembur dengan mantera semacam doa
Bagi harapan yang jelas terbaca dari sudut palung dadamu yang paling gelisah

Ah, bapa, bapa!
Segeralah kau sembur kedua telingaku
Dengan azan dan iqomah yang sempat kau lupakan
Sebelum subuh mempermalukanmu di mata alam

Lihatlah, bapa?
Hujan telah berganti gerimis
Dan gelap sebentar lagi selesai bersetubuh dengan malam
Sambutlah matahari yang kehausan
Embun dan sebait puisi
Serta sesosok tamu yang kau tunggu dengan lelah berkepanjangan

Ini aku, bapa, anakmu
Anakmu, bapa?
Anakmu!

Purbalingga, 31 Mei 2013 usai hujan berhenti menangis

    

Sajak Monolog Bagi Pemuja Kopi

By // 11 comments:

Lalu bagimana jadinya jika secangkir kopi yang selama ini senantiasa setia menemaniku merangkai puisi, tiba-tiba menghiba kepadaku untuk menggantikan posisinya. Aku pun terkejut. Bagaimana mungkin kopi-kopi yang telah ku sedu kemudian melompat-lompat dan memintaku menjadi kopi? Hah, ada-ada saja. Akhirnya, dengan hati yang berat aku pun bersedia menjadi kopi, menemaninya merangkai puisi.

Pertama-tama tubuhku menjadi bubuk kopi. Lalu aku dimasukan ke dalam cangkir. Kemudian sesendok dua sendok gula pasir mengubur tubuhku. Setelah itu air panas mengguyur tubuhku. Lantas aku dan gula pasir diaduk bersama air tungku yang mendidih. Jadilah aku secangkir kopi yang beraroma menahan kantuk dan rayuan bantal. Begitu seterusnya selama bermalam-malam. Tak ku sangka tak ku duga, menjadi kopi adalah juga menjadi bagian hidup yang paling bersahaja.   Ia tak pernah protes kepada hidup. Tak pernah mengeluh meski harus lebur karena air panas, serta senantiasa menjadi benda yang paling setia menemani tuannya. Dan inilah pengalamanku selama aku menjadi secangkir kopi.

Monolog Secangkir Kopi
Buat Para Penikmat Kopi

maka inilah aku yang dikutuk takdir menjadi sebiji kopi
mengecap lidah pada setiap jejak tengara waktu
manis dan pahit bertubrukan
di antara denting sendok dan beling

tubuhku legam, hangat, sesekali mendidih matahari
menjaga mata dari kantuk dan bantal
asin keringatku menyulap malam menjadi sebatang siang
menyihir siang menjadi arang
bagi mata-mata yang sungkan terpejam

seperti bujur jasadku yang legam, aku tak pernah mengenal huruf untuk mengeja takdir. Atau tak sempat akrab dengan segumpal tanya kenapa aku mesti harus menjadi kopi  
seperti gula pasir yang senantiasa manis dalam setiap pahit. takzim membaca suratan garis-garis tangan tanpa tanda tanya.

aku hanya mengenal angka satu, dua, atau setengah sendok
hingga aroma tubuh telanjangku pas disedu
bagi pemuja malam dengan segenap birahi di ujung dentum gelas dan cangkir  

Purbalingga, 29 Maret 2013 


Semoga Tuhan Membaca Puisi Ini

By // 5 comments:

Mukadimmah

Adakah yang paling menyakitkan ketimbang merasakan segenap keasingan yang tiba-tiba menyergap? Katakan kepada ku apa yang paling membuat kita mabuk ketimbang kehilangan kekasih yang dengan susah payah kita rayu?. Aku benar-benar khilangan kawan? Tongkat yang semestinya ku jadikan mata jalan raib dihempas badai gurun. Jadilah aku seorang musafir yang tak tahu kemana arah angin berhembus.

Hanya pada sebentuk puisi saja brangkali, aku mencoba kembali membenarkan langkah kaki yang terseok-seok. Membetulkan ingatan yang tiba-tiba bengkok oleh bujuk rayu keramaian dunia. Berharap agar Tuhan menjadi ramah bagi tubuh dan fikiranku sebelum Dia membenci lantas menagih nyawa dari kerangkeng tulang-tulang jasadku. Dan, inilah gugusan kata-kata rayuan yang ku susun dengan segenap harap agar Tuhan sudi mengampuni segala dosa-dosaku.
     

Kasidah Batu Kali

I
sejak semula akulah kasidah batu kali itu
sumbang dan penuh sangsi
memintal sajak bagi daun-daun liar yang runtuh dari kesilaman silsilah
ikan-ikan bernyanyi lagu wirid. sesekali, arus kali tenang mengamini

sejak semula akulah kasidah batu kali itu
melantunkan lagu anggur dan vodka
pada setiap perjamuan-perjamuan di rumah Tuhan, di mana tarian-tarian mabuk kerap melahirkan ayat-ayat beraroma getir

seseorang mengukir suara di ujung toa, merasa nadanya persis nada Tuhan yang ku akrabi hingga tulang sumsumnya. padahal, ia tengah menyanyikan lagu ganjil dikedalaman telinga para tetamu yang tengah dijamu Tuhan

sejak semula akulah kasidah batu kali itu
mabuk dan tersungkur jatuh
menggenapi sembilan puluh sembilan arus nama Mu yang menderas di ceruk jantungku

2
aku masih saja menjadi kasidah batu kali itu setelah ku arungi keluasan samudra yang kau hentangkan pada selembar buku suci. ku tabung segala kata warisan nenek moyang. agar lidahku takzim memainkan nama Mu pada setiap permulaan lima waktu. agar langit tak kembali tuli. bagi doa-doa yang ku panjati dengan diam.

namun mata Mu menjadi asing. sketsa wajah yang ku lukis dengan tinta darah nadi Mu menjadi buram. nama-nama yang ku hafal dengan asin keringat tasbih di sepertiga malam ku pun runtuh ke tanah. redam terhempas badai keramaian

kini tubuhku sekarat. meski aku masih menjadi kasidah batu kali itu.
jasad dengan dada bara api. pucat dilumat zaman yang semakin menjauh dari tubuh Mu. Lantas dapatkah ku teguk kembali anggur dan vodka yang ku peras dari dada langit Mu?
agar kita dapat mabuk, dan menari intim sepanjang malam perjamuan di rumah sunyi Mu?

 Purbalingga, 21 Maret 2013



Makrifat Sunyi

By // 16 comments:

Pembuka

Lagi, dan lagi-lagi, aku seperti hidup terkurung dalam gua yang memantulkan suara-suara imitasi. Banyak suara berlalu-lalang di segenap stalagtit, dan jatuh di hamparan stalagmit gua, namun hakekatnya itu hanya suara saya sendiri. Plato pernah menyinggung tentang pantulan suara gua dalam rangka menguak sejatinya realitas hidup. Mungkin hanya kebetulan saja jika kemudian, saya menjadi bagian manusia yang hidup di zaman serba keramaian seperti sekarang ini (orang-orang menyebutnya zaman kemajuan. Saya menamainya zaman kemunduran).

Maka menjadi wajar jika di dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, kita atau katakanlah saya sendiri menjadi asing dengan segenap realitas yang jika mau jujur, itu hanyalah realitas semu belaka. Saya tidak sedang menjadi nabi atau sang penjaga moral yang kerap berkhutbah di mimbar-mimbar masjid dengan tema yang itu-itu saja. Saya hanya sedang bertanya, akan dan terus ingin bertanya pada apapun yang sekiranya dapat menjawab kegelisahan-kegelisahan yang tersirat ataupun tersurat pada susunan kata-kata yang dengan penuh egois dan kesombongan, saya sebut puisi.

Seperti dua puisi di bawah ini, saya menuliskannya ketika saya membaca kisah-kisah kematian yang tak pernah ketinggalan pada menu sajian hidup kita di Koran-koran. Beberapa menit yang lalu mereka saling berpelukan dan bertegur sapa, tapi beberapa detik berikutnya salah satu ada yang mati. Maut memang tak pernah punya rasa belas kasihan. Persis zaman yang sedang bergerak mudur ini.

Yang kedua, cobalah sesekali masuk dan berdiri di tengah-tengah pasar tradisional. Dengarlah suara-suara yang menembus ke telinga kita. Bukankah suara-suara di tengah pasar itu saling bertabrakan, riuh, dan sulit untuk dipahami makna dan maksudnya? Dan bayangkanlah jika sekejap saja suara-suara itu diam dan terhenti. Adakah sobat akan memahami suara-suara yang mendadak diam itu? Mari kita baca bersama…   

Menaksir Hitungan Maut

aku sedang menaksir hitungan maut di tanganku sendiri
ku baca dengan seksama
setiap nafas yang berhembus pada gigil garis-garisnya
ku tabung dengan rapi
sengkurat jejaknya yang luput ku kecap

angin melolong
di tepian ngarai waktu yang tengah memburu jantungku
parau,
bagai embun yang gagal mengenang daun-daun pagi

aku yang masih menaksir hitungan maut
sesekali jatuh di kesenyapan dingin bibirmu
bilangan-bilangan tak bernama
tersungkur di setiap pucuk-pucuk jari

asin keringatmu menyulut api
membakar dingin subuh yang mengendap di lidahku
tungku yang ku tinggalkan bertahun-tahun
menunggu giliran mati sewaktu-waktu

aku yang terus menaksir maut di dadaku
lunglai,
menangkup gambar sunyi wajah Tuhan
lelah tak berkesudahan

gending tangis masa lalu berdesingan
menikam hening paling malam di kepalaku
gagap di tengah medan tempur
antara maju atau mundur
menghitung maut di pelukan

Purbalingga, 15 Maret 2013, ketika ingin melihat wajah maut


Pasar

ada yang pecah di dasar telinga
huruf-huruf riuh di tengah pasar
melengking
menikam lorong jantung paling dalam

kata-kata bertabrakan
di serambi warung dan los-los pasar
aku yang limbung
disayat helai sunyi daun-daun bawang
berjajar di tepian pisau nasib yang menajam

bayar dan ambillah
sebab kami adalah barang yang asing dengan diri kami sendiri

juga suara-suara yang bergegas itu

hilir tak bertepi
muara yang dikutuk jadi penanti

ku jadikan bising pasar
menjadi sebentuk sunyi paling tersembunyi
bagi kembara para nabi-nabi

Purbalingga, 17 Maret 2013 Ketika Berada di tengah pasar Bobotsari



Meet The Author

I'm Chandeep J, An 18 years old blogger Currently living in Tamil Nadu, India. I'm a Skilled Blogger, web Developer and Loves to play with Codes And Creating new things as a web Designer.

author