Sepenggal Mimpi di Negeri Dongeng

By
Advertisement

Suatu malam, seorang perempuan menyadari dirinya berada di tengah lautan. Jauh di ujung pandang, gulungan ombak saling berkejaran. Rambutnya tak pernah diam ditelan angin yang memekakan telinga. Gugusan bintang berbentuk singa membuat ia kagum pada dirinya sendiri. Ingatannya melayang pada kisah orang-orang yang bertarung melawan badai, dan memenangkan pertarungan itu dengan hadiah beribu-ribu penghuni lautan. Lalu membawanya ke daratan sebagai lambang keperkasaan, atau simbol kehebatan memenangi nasib. Ia bersykur terlahir dari rahim nenek moyang pelaut.

Ia terus mengayuh dayung. Sesekali perahunya miring ke kiri, dan ke kanan menjadi permainan ombak. Kini ia seksama, merasakan kehebatan nenek moyangnya. Betapa tidak, ia kelihatan perkasa berada di tengah lautan seluas ini, meski ia menyadari bahwa hidup dilautan tak ada kemungkina lain selain dua kemungkinan; menang sebagai pahlawan, atau mati ditelan lautan.

Namun sebagai perempuan, ia tak dapat memungkiri kenyataan. Kepergiannya menyeberangi lautan adalah pekerjaan yang menyakitkan. Malam seperti ini, seharusnya dia sedang membacakan dongeng tentang semut dan belalang kepada anaknya. Atau menyuguhkan secangkir kopi setengah pahit kepada suaminya. Keberaniannya menyeberangi lautan bukan didorong oleh kekagumannya kepada nenek moyang semata, namun lebih karena persoalan nasib. Demi nasib hidup yang lebih baik.

Bagaimanapun, ia bukan seorang pelaut. Namun untuk memenangi pertarungannya dengan nasib di daratan, ia mesti wajib memenangkan pertarungannya melawan badai. Sebab, kata orang, diujung lautan ini ada sebuah daratan dimana ia dapat memenangi pertarungan melawan nasib. Menurut orang-orang, nasib di daratan yang ia pijak selama ini buruk. Kebutuhan hidup melambung tinggi. Upah kerja tak sepadan. Belum lagi para penagih hutang yang kerap meneror. 

“Kata orang?” Ia berhenti mengayuh dayung sejenak, membatin; benarkah keperkasaannya menyeberangi lautan luas ini hanya untuk memenangi nasib yang kata orang lebih baik? Apakah selama ini nasibnya tidak baik? Bukankah suami dan anaknya masih bisa makan dari hasil ia menanam ubi dan singkong, dan bukankah itu nasib baik baginya?

Keraguan hampir membuat perahunya tenggelam. Petanyaan-pertanyaan yang datang tiba-tiba itu semakin menggoda. Namun, ia bertekad akan menyimpannya terlebih dahulu soal nasib yang lebih baik di lubuk hatinya. Baginya, kini, pertarungan masih harus terus berlanjut. Dia harus menang melawan ombak dan badai yang bisa datang sewaktu-waktu. Jika kalah, tentu nenek moyangnya akan tertawa, atau bahkan menangisi cucunya yang tercatat dalam lembar sejarah sebagai cucu seorang pelaut yang mati ditelan laut.

Bulan bundar. Meski samar, matanya sanggup memandang warna laut. Hitam bercampur kuning keemasan. Disamping warna laut, kini ia terhibur oleh bayangannya sendiri. Dari tengah perahunya, ia dapat memandangi segi tiga bersayap di atas air. Lebih mirip seekor elang yang gagah mengepakan sayapnya di udara. Ia merasa perkasa. Tubuh dan perahunya, kini adalah elang yang perkasa dengan kepak sayapnya yang menghempas, membuat ia semakin semangat mengayuh dayung menantang ombak.
Nenekku seorang pelaut! Tapi mungkinkah seorang pelaut tidak mengisi perutnya dikala lapar? Mungkinkah seorang pelaut tidak merasa haus setelah berhari-hari mengayuh dayung? Ia kini butuh makan. Butuh minum. Butuh mimpi. Pada ombak yang tidak begitu deras, ia serahkan kapal sejenak untuk jadi permainannya. Ia akan makan. Akan minum, lalu tidur sejenak. Sejenak saja, batinnya, menyerahkan nasib pada ombak. Dengan lahap, ia menyantap bekal makanan secukupnya. Lalu minum, kemudian tidur. Sejenak saja!

Ia bermimpi tentang fajar berwarna jingga. Suami dan anaknya berkejaran di pematang sawah milik orang. Ia berkata pada dirinya, ini nasibku, bukan nasib orang lain. Aku bahagia dengan nasib ini. Lalu kenapa aku mesti harus menyebarangi lautan menuju daratan yang kata orang menyimpan nasib lebih baik? Aku tak habis fikir. Kenapa harus orang lain, yang menggariskan nasib baik atau buruk seseorang? Nasibku baik. Tapi kenapa menurut orang lain nasibku buruk, sehingga aku harus menyeberangi lautan ini?

Matanya terbuka. Langit jingga, laut jingga. Fajar telah tiba. Namun tak ia temui suami dan anaknya. Juga tak ia dapati pematang sawah milik orang. Hanya tubuhnya terlentang ditindih langit berwarna jingga. Ia terjaga. Ia telah bermimpi. Tapi syukurlah, ia tidak bermimpi ombak memenangi pertarungan dan meluluh-lantahkan perahunya. Ia masih hidup. Masih memenangi nasibnya, meski sejenak.

Ia duduk. Tangannya meraih gagang dayung, lalu mengayuhnya. Ingatannya kembali melayang pada sebuah daratan di ujung lautan ini, yang kata orang menyimpan nasib lebih baik. Menurut orang, di daratan itu tidak ada pematang sawah. Tidak tumbuh ubi dan singkong, juga rerumputan. Di sana hanya ada tanah-tanah berdebu, jalan-jalan yang mulus, dan gedung-gedung pencakar langit. Juga tidak ada orang yang jalan kaki. Mereka berjalan menggunakan kotak segi empat yang bermesin dengan keceptan yang luar biasa. Di sana, kata orang, juga ada burung elang raksasa dimana kalau ia menaikinya, ia akan benar-benar menjadi seekor elang. Dan tentu, ada nasib yang lebih baik.

Baiklah, benaknya, aku akan ke sana. Aku ingin naik di atas punggung elang raksasa. Aku ingin merasakan duduk di dalam kotak segi empat dengan kecepatan yang luar biasa. Juga ingin bermimpi di dalam gedung-gedung pencakar langit, serta menikmati jalan-jalan mulus itu. Dan tentunya, ingin memiliki nasib yang lebih baik.

Matahari semakin naik. Tangannya kian perkasa setelah sejenak tadi menyantap bekal makanannya. Daratan oh daratan, tekadnya, pasti aku akan menemukanmu!. Matahari di atas kepala. Matanya tak lagi mendapati segi tiga bersayap seperti tadi malam. Dirinya kini nampak seperti tanda titik yang bergerak. Kecil, dan terasa lamban. Ia merasa seperti setitik riak ombak di tengah lautan. Ia mengusap matanya. Hampir tak percaya. Gulungan ombak mengepungnya. Ia semakin kecil, terus mengecil. Sementara sebuah tembok raksasa siap melahapnya.

Elang itu melayang-layang di udara. Suaranya yang bergemuruh, membuat ia terjaga. “Hai elang, tunggu aku. Aku ingin naik di atas punggungmu!” suaranya kalah oleh suara gemuruh. Tangannya bergerak-gerak mencari gayung. Namun air laut itu terasa seperti keras daratan. Ia sadar. Ia telah memenangkan pertarungan melawan ombak. Dan kini, ia mendarat, dengan puing-puing perahu tak jauh darinya. Ia berdiri. Matanya nanar menangkap apapun yang ada di depannya. Jalan-jalan mulus, gedung-gedung pencakar langit, kotak-kotak yang melesat. Dan, nasib yang lebih baik? Dimana dia?
Ia berlari menuju gedung-gedung pencakar laingit. Di daratan ini, pematang sawah berubah menjadi trotoar. Dan orang-orang berubah menjadi patung yang bergerak. Ia terus berjalan. Sesekali bertanya kepada patung-patung yang berjalan itu, perihal jalan terdekat menuju gedung yang atapnya hampir menyentuh langit. Namun patung-patung itu tak menjawab. Ia putuskan untuk mencari jalan sendiri.

Sampailah ia di depan gedung setinggi langit. “Aku mencari nasib yang lebih baik di daratan ini. Dimana dia?”
“Kebetulan, aku mencari orang-orang yang mencari nasib baik di sini” lelaki bertubuh gempal itu menimpali sang pencari nasib.

Lalu kata si gempal, sang pencari nasib diminta untuk membersihkan jendela kaca seluruh gedung. Demi mencari nasib yang lebih baik, si perempuan itu rela membersihkan kaca-kaca yang tampak kusam.

Hari pertama, ia hanya mampu membersihkan kaca jendela lantai satu. Hari kedua, ia mampu mengelap kaca jendela di lantai dua. Hari ketiga, ia mampu membersihkan kaca jendela di lantai lima. Hari selanjtunya, ia tengah bertengger di kaca jendela lantai sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Satu lantai lagi, pekerjaannya akan selesai, dan berharap dapat bertemu dengan nasib yang lebih baik.

“Aku benar-benar di atas langit. Gedung ini hampir menyentuh langit!” benaknya. Mukanya berkeringat. Jari-jarinya mengkilat. Pembersih kaca di tangan kirinya terjatuh. Kakinya gemetar. Tubuhnya bergetar. Ia merasa meluncur deras ke bawah langit. Daratan bergetar. Membuat orang-orang dikejutkan oleh semacam gerakan gempa. Lalu berlari mengerumuni tubuh perempuan yang penuh darah, dan sebagain anggota tubuhnya terpisah.

Di dekat nisannya, aku mereka-reka ahir dongeng negeri dongeng dari mama. Kemungkinan seperti ini; nasib baik itu ahirnya tak dapat mama temukan. Nasib baik itu kemungkinan ditemukan oleh orang-orang yang membuat kapal yang dibeli mama untuk menantang ombak lautan menuju daratan dimana kata orang ada nasib baik di sana. Atau mungkin seperti ini; neneku seorang pelaut. Lalu mati ditelan lautnya sendiri!

Kepada Para Pahlawan Devisa
Purwokerto, Januari 2013

2 comments:

  1. akhirnya selesai juga bacanya wah kisah sedih yang mengharukan sob aq pun pernah jadi tki walaupun cuma 3 tahun di negri jiran memang tak selamanya manis hidup di negri dongeng

    ReplyDelete
  2. @rohmadainiWah, beruntung bisa bekerja di negeri Jiran Kang? Saya malah gagal total...Makasih kunjungannya...

    ReplyDelete