Avant-Propos
Dimulai postingan edisi ini dan mungkin edisi-edisi
selanjutnya, saya akan menuliskan semacam pra wacana sebelum sobat dapat lebih
lanjut membaca puisi-puisi saya. Puisi-puisi yang terangkum dalam Sajak
Kesunyianku ini, merupakan refleksi terhadap apa yang saya rasakan selama ini.
Entah mengapa saya selalu merasa kesunyian, kesepian, dan kesendirian meski
berada di tengah keramaian. Sungguh ini sangat menyiksa saya. Apakah saya
mengidap salah satu penyakit jiwa? Semacam skizofrenik atau Indogo? Entahlah!
Hanya, dengan meuliskan puisi-puisi ini saya merasa ada. Selamat membaca…
Badai Pagi
sebelum genap membaca matahari
dari barat, angin menghujam
menusuk sunyi di kepalaku
bertulang badai, berlidah pedang
“kapan kau akan selesai memahami janji?”
ada yang pecah di kepadatan langit-langit kamar
orang-orang berburu jawaban
dari kenestapaan masa kanak-kanak
sepekat malam mengajikan lagu-lagu pujian
pada alam dan dirinya sendiri
aku yang bergegas menggali tanah
agar segera dilupakan oleh kenangan
terjaga badai pagi
menagih janji yang belum selesai ku pelajari
Purbalingga, 23 Februari 2013
Mercusuar
Sunyi
selebihnya adalah bangunan-bangunan sunyi
memadat pada setiap riwayat jalan yang memanjang di
mataku
telah ku tandai sebagai tiang
bagi langit-langit yang lelah berdiri
juga mercusuar sunyi ini
tegak berdiri di pantai-pantai yang lepas di dadaku
riwayatnya adalah nasib yang sedang menyisir takdir
antara hidup atau mati
ku panggil camar dengan telapak tangan
agar pecah sunyi di segenap ombak yang lupa diam
ku selimuti bulan yang kedinginan
agar patah garis-garis sunyi di segenap cahaya
sayang, mercusuar sunyi ini kokoh menghujam
di dasar jantung dengan sedalam-dalamnya palung
lalu apa hendak ku tembangkan?
selain bait sunyi yang sempurna, memilih garis
kematian
Purbalingga, 28 Februari 2013
Menghitung
Sunyi
sunyi ini lebih jelas ku hitung
ketimbang maut yang berarak di setiap depa tanah
lebih mudah ku simpulkan deritnya
ketimbang kematian yang melengking pada setiap kemarau
lalu apa?
selain sebatang tubuh senyap
dan daun-daun runtuh pada helai keniscayaan
dikepung keramaian yang asing dengan segenap
hipokrit di dalamnya
menjamur bagai musim dipagi hari
lantas apa?
selain tragedi yang melumpuri wajah sunyi
dari kesaksian jalan-jalan tak bernama
dan aku semakin sempurna menghitung sunyi
dengan jari-jari nasib yang kian tak ramah
hingga terbaca pada setiap dinding-dinding candi
sebagai pancaran air mata lara
Purbalingga, 28 Februari 2013
Wah bagus nih sajaknya Gan... bakat jadi pujangga nih hehehe
ReplyDeleteijin baca ah gan sapa tau ketularan ckikikik ,,,salam sukses
ReplyDeleteijin nyimak mas
ReplyDeleteKeren sajaknya gant...
ReplyDeletebooksmark gant,sekalian follow biar tambah banyak teman..
aja puisi terus lah
ReplyDeleteora mudeng...
suer kang,saya kalo berkunjung kesini bingung mau komen.
ReplyDeletebaik dari susunan kata,bahasa,puisi sajak atau syairnya....memang top markotop.
jadi saya cuma bisa baca sambil terkesima :)
menyentuh,...touching..
ReplyDeletetulisanmu selalu indah, bahasamu selalu dalam mas :)
sungguh indah membahasakan rasa lewat sajak
ReplyDelete@Wong NdablekPujangga kesepian ya bro? hehe..makasih udah mampir. salam
ReplyDelete@cahyo jmsilahkan Gan dibaca...makasih atensinya. salam:)
ReplyDelete@Yono KaryonoMana bajigurnya Mang?
ReplyDelete@Heri GipzyMakasih mas bro? salam kenal. Semoga Mandiraja aman. Salam buat Pak Walid Rubai, si anggota DPRD Banjar asli Mandiraja
ReplyDelete@Rawinswis setuan kieh kang tembe nulis puisi...
ReplyDelete@Reo Adamaja bingung-bingung kang? Tawa kopi apa mendhoan ya kena hehe....Salam ngapak
ReplyDelete@IrmaSenjaKalau yang ini, secara pribadi sy lebih menitikberatkan pada makna lho mba? Kalo touching ya alhamdulilah yah...semoga sehat selalu mbak Irma? Ingin melanjutkan kembali kolaborasi menulis puisi yang dulu sempet terhenti...
ReplyDelete@Abdul Haris MubarakMakasih mas Haris? Mas Haris juga keren koq? hikss
ReplyDelete