Pembuka
Lagi, dan lagi-lagi, aku seperti hidup terkurung
dalam gua yang memantulkan suara-suara imitasi. Banyak suara berlalu-lalang di
segenap stalagtit, dan jatuh di hamparan stalagmit gua, namun hakekatnya itu
hanya suara saya sendiri. Plato pernah menyinggung tentang pantulan suara gua
dalam rangka menguak sejatinya realitas hidup. Mungkin hanya kebetulan saja
jika kemudian, saya menjadi bagian manusia yang hidup di zaman serba keramaian
seperti sekarang ini (orang-orang menyebutnya zaman kemajuan. Saya menamainya
zaman kemunduran).
Maka menjadi wajar jika di dunia yang penuh
hiruk-pikuk ini, kita atau katakanlah saya sendiri menjadi asing dengan segenap
realitas yang jika mau jujur, itu hanyalah realitas semu belaka. Saya tidak
sedang menjadi nabi atau sang penjaga moral yang kerap berkhutbah di
mimbar-mimbar masjid dengan tema yang itu-itu saja. Saya hanya sedang bertanya,
akan dan terus ingin bertanya pada apapun yang sekiranya dapat menjawab
kegelisahan-kegelisahan yang tersirat ataupun tersurat pada susunan kata-kata
yang dengan penuh egois dan kesombongan, saya sebut puisi.
Seperti dua puisi di bawah ini, saya menuliskannya
ketika saya membaca kisah-kisah kematian yang tak pernah ketinggalan pada menu
sajian hidup kita di Koran-koran. Beberapa menit yang lalu mereka saling
berpelukan dan bertegur sapa, tapi beberapa detik berikutnya salah satu ada
yang mati. Maut memang tak pernah punya rasa belas kasihan. Persis zaman yang
sedang bergerak mudur ini.
Yang kedua, cobalah sesekali masuk dan berdiri di
tengah-tengah pasar tradisional. Dengarlah suara-suara yang menembus ke telinga
kita. Bukankah suara-suara di tengah pasar itu saling bertabrakan, riuh, dan
sulit untuk dipahami makna dan maksudnya? Dan bayangkanlah jika sekejap saja
suara-suara itu diam dan terhenti. Adakah sobat akan memahami suara-suara yang
mendadak diam itu? Mari kita baca bersama…
Menaksir
Hitungan Maut
aku sedang menaksir hitungan maut di tanganku
sendiri
ku baca dengan seksama
setiap nafas yang berhembus pada gigil garis-garisnya
ku tabung dengan rapi
sengkurat jejaknya yang luput ku kecap
angin melolong
di tepian ngarai waktu yang tengah memburu
jantungku
parau,
bagai embun yang gagal mengenang daun-daun pagi
aku yang masih menaksir hitungan maut
sesekali jatuh di kesenyapan dingin bibirmu
bilangan-bilangan tak bernama
tersungkur di setiap pucuk-pucuk jari
asin keringatmu menyulut api
membakar dingin subuh yang mengendap di lidahku
tungku yang ku tinggalkan bertahun-tahun
menunggu giliran mati sewaktu-waktu
aku yang terus menaksir maut di dadaku
lunglai,
menangkup gambar sunyi wajah Tuhan
lelah tak berkesudahan
gending tangis masa lalu berdesingan
menikam hening paling malam di kepalaku
gagap di tengah medan tempur
antara maju atau mundur
menghitung maut di pelukan
Purbalingga, 15 Maret 2013, ketika ingin
melihat wajah maut
Pasar
ada yang pecah di dasar telinga
huruf-huruf riuh di tengah pasar
melengking
menikam lorong jantung paling dalam
kata-kata bertabrakan
di serambi warung dan los-los pasar
aku yang limbung
disayat helai sunyi daun-daun bawang
berjajar di tepian pisau nasib yang menajam
bayar dan ambillah
sebab kami adalah barang yang asing dengan
diri kami sendiri
juga suara-suara yang bergegas itu
hilir tak bertepi
muara yang dikutuk jadi penanti
ku jadikan bising pasar
menjadi sebentuk sunyi paling tersembunyi
bagi kembara para nabi-nabi
Purbalingga, 17 Maret 2013 Ketika Berada di
tengah pasar Bobotsari
Mantap... Jempol... Berkunjung ke blog mas brow. Via hp jadul hehe
ReplyDeletewah, HP jadul? nyindir nich mang?
Deletebahasanya tingkat tinggi je', bagus tapi aku ga mudeng :D
ReplyDeletehehehe...saya juga gak mudeng kadang-kadang mbak?
Deletekeren bang gk kyk pnya ane nih komen back y
ReplyDeletetapi gak sekeren foto profilmu gan? hehe...
DeleteButuh waktu khusus utk memahami sedalam-dalamnya mas, tapi aku bener2 suka dg judulnya : makrifat sunyi...ramai dalam kesunyian, bisa jadi saat tubuh wadag melakukan berbagai aktifitas tapi kalbu hanya memandang-NYA. sunyi dalam keramaian, bisa jadi tubuh wadag dalam kesendirian sedangkan kalbu sedang asyik bercengkrama dengan DIA...
ReplyDeletebebas diterjemahkan mas? bagaimanapun, sebagai pencipta puisi di atas, jika sudah dilempar ke wilayah publik, maka saya tidak berhak membenarkan atau menyalahkan sebuah interpretasi sebuah karya. makasih udah mau mampir...
Deletesipp gan, mantap banget.. terimakaisih nih udah share :)
ReplyDeletesama-sama mas gan? share puisi itu tidak sepenting share tutorial blog ya? hehe...
Deletenah,, berbicara mengenai kematian, memang tiap saat maut bisa saja menjemput.. namun karena manusia tempatnya salah dan lupa, seakan melupakan bahwa kehidupannya yg ramai diintai setiap saat oleh kematian
ReplyDeletemungkin demikian mas? sebab, bagaimanapun kematian adalah sebuah misteri yang hingga kini belum terpecahkan oleh teori apapun...salam:)
Deletemungkin, suasana pasarnya akan sangat sepi jika terjadi hal yg menghentikan seluruh aktivitas yg dinamakan kematian
ReplyDeletehehe...mungkin demikian mas bro? makasih udah mampir...salam:)
DeleteMantab..Puisi nya sadissssss, Betapa terlukanya jika hati membaca dengan suasana hening.. jempolan :)
ReplyDeleteasli bang..keren2 puisi penjenengan
ReplyDeletemohon bimbingannya