Sekedar Puisi Untuk Ibu

By
Advertisement

Preambule

Sewajarnyalah, selalu ada asumsi; selalu muncul interpretasi. Bagi dua insan yang lama berpisah, dan lama tidak saling bertegur sapa. Masing-masing bertanya pada dirinya sendiri. Mengira-ira, menduga-duga; apa gerangan yang terjadi. Ada kegelisahan, kekhawatiran, kecemburan, bahkan kekecewaan bagi setiap dua insan yang dirundung cinta, serta kerinduan. Itu lazimnya terjadi pada pasangan kekasih. Lalu apa yang mesti dibahasakan jika kegelisahan, kekhawatiran, keriduan, atau bahkan kecintaan anak kepada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia serba fana ini?

Seperti diriku sendiri yang lama tak saling berkirim warta, apa lagi menyapa bagi perempuan setengah baya yang telah berjuang antara hidup dan mati melahirkanku ke dunia. Terkadang wajahnya serupa bidadari yang selalu memompa semangat untuk berjuang bertahan hidup. Lain waktu, ia kadang serupa pedang yang telah diasah dan terhunus di pangkal tengkukku. Sekali tebas, hilanglah segalanya. Mengingat, sejauh aku masih dianggap sebagai anaknya, sejauh itu pula aku belum mampu berbakti dengan segenap maknanya. Dan, inilah bahasaku mengungkapkan kerinduan, kecintaan, dan pengharapan kepada sosok perempuan yang ku panggil ibu…   

Aku Tidak Sedang Melupakanmu

aku tidak sedang melupakanmu, bila angin berhembus dari barat
di mana bibir ngarai menganga
menebar kutuk yang kau tiupkan pada setiap pucuk daun kegelisahan
maut yang merapat, menusuk pori-pori

aku hanya tahu, malam segera rebah di sebidang dada siang
di mana ruang dan waktu hanya soal nama belaka
seperti sekuntum doa yang kau siram
dan terus kuciumi selunas-lunas kehausan musafir

aku tidak sedang melupakanmu, jika angin timur tak berhembus ke barat
di mana orang-orang tak tahu apa yang pantas diucapkan
bagi tubuh-tubuh telanjang bernama simulakra
kebaikan dan keburukan beraroma bunga

aku hanya tahu, selalu ada yang ingin ku sembunyikan di sini
di kedalaman cekung mata tua kesilamanmu
selembar kisah tentang seorang nabi
yang membunuh Tuhannya di keramaian pasar
dengan lilin di tangan kiri, sambil berlari dan berteriak
                Got is tot…Got is tot…!

aku tidak sedang melupakanmu, bila tungku ini kedinginan
di mana api, sesekali hanyalah cahaya yang sia-sia
aku hanya sedang menuliskan
struktur kesunyian di setiap urat nadiku
                tapi sunyimu kelewat liar

aku tidak sedang melupakanmu, jika aku tak menuliskan puisi
pada alam yang hikmat dengan kebijaksanaannya
di mana setiap yang bergerak, adalah tanda-tanda yang luput terbaca

aku hanya tahu sabdamu,
adalah maut yang mendekat
di segenap keremangan bising
jisim yang kesepian
                : aku tidak sedang melupakanmu

Purbalingga, 6 Maret 2013
  

11 comments:

  1. Apa lagi yang mesti bisa dibahasakan dengan puisi indah selain ibu?

    ReplyDelete
  2. masalahnya, ibuku kurang nggeh soal puisi..
    tapi kerennnn

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama koq mba? Ibuku juga tak paham soal puisi...tapi apalagi yg musti dapat kita lakukan kecuali menuangkan rasa ke dalam puisi?

      Delete
  3. masha Allah,,,,kadang sosok ibu mmg sering terlupa, aplagi jika sudah ada keluarga . Tapi sebenar-benarnya walau dia sering terabaikan, doa dan kasihnya tak akan pernah padam utk semua anak-2nya. hiikz ingat almarhum Ibu :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masya Allah nya juga adalah sejauh mana kita (sya) telah berbakti kepadanya...bukan begitu mbak?

      Delete
  4. keren bang puisinya puisi ane aja kalah hehe komen back y

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. mboke-mboke...hehehe...bang Tio, sang pujangga dari Purwojati Banyumas

      Delete
  6. gue cuma bisa geleng-geleng ..
    bahasanya tingkat tinggi, serius. Ini kereen..
    gue sampe gak kepikiran dengan bahasa setinggi itu..

    ibu emang selalu jadi nomer satu, orang yang selalu support dengan tulus.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangan keseringan geleng-geleng kepala mas, nanti jadi mumet. makasih udah mampir. salam..

      Delete