Derit tangis di daun pintu itu adalah rubaiyat sunyi yang pernah kau
tuliskan pada matahari. Aku ingin mengeja dengan huruf-huruf yang lengang. Dengan
kalimat yang pernah kau lumat ketika langit membisu.
Sepenggal jejak angin runtuh. Aku jatuh. Lidah mengeluh. Puisimu belum
juga mampu ku unyah. Aku menyerah.
Lantas ku bisikan kata pada rembulan telanjang di jantungmu. Agar bintang
berbinar selaksa angin utara yang nanar. Agar rubaiyat tersayat di tanah dengan
senyum merupa liat. Kata demi kata kemudian telanjang. Ku punguti tubuhnya yang
berselimut sunyi mewujud makna yang pernah singgah pada langit tak bertiang.
Kepada semesta ku lantunkan salam. Sebelum jasadku berbujur putih, dan
pulang bersama angin utara yang gelisah
Purwokerto-Purbalingga, Menjelang Manghrib
Januari 2013
Aku Ingin Sunyi Mati Dengan
Sebenar-benarnya
Ceritakanlah kepada angin. Tentang sunyi yang hinggap pada daun-daun tua.
Pada mimpi-mimpi yang kesumat di malam pekat. Pada puisi yang mengubun di
ubun-ubun. Engkau tau, ingatanku merupa purba. Mewujud batu yang melumut. Diam dan
penuh dendam.
Atau kisahkanlah sejenak. Mimpi yang pernah singgah. Pada ilalang yang
tengadah ketika bumi berkata lelah.
Atau barangkali tentang Tuhan. Yang pernah kita lukis wajahnya di
sebidang pasir tua. Sebelum riak melumat segalanya.
Sungguh, aku ingin menjadi sepohon kayu angsana. Atau sebujur pohon
kencur. Atau apalah. Agar sunyi mati dengan sebenar-benarnya.
Purwokerto-Purbalingga, Setelah Azan
Berkumandang Januari 2013
Puitis sekali :)
ReplyDeletepuitis and sangat menangkut
ReplyDeletesastra banget....:)
ReplyDelete@Mugniarbetulkah?
ReplyDelete@rohmadainireally dude?
ReplyDelete@Ami Potabugabahkan sastra pun belum aku mengerti..
ReplyDeletemaksudnya melukis wajah Tuhan di atas pasir itu gimana bang?
ReplyDeletemantepp banget nihh, penulis yaa?
ReplyDelete@munir rinemrasanya sulit untuk menerangkan mas? kalimat itu hanya kiasan, dan dapat dipahami dengan rasa. Salam:)
ReplyDelete@Dirgamakasih mas Dirga? pernah bercita2 jadi penulis, tapi gagal ditengah jalan hehe...salam:)
ReplyDelete*Atau barangkali tentang Tuhan.
ReplyDeleteYang pernah kita lukis
wajahnya di sebidang pasir
tua. Sebelum riak melumat
segalanya.*
saya membayang penulis sedang duduk sendiri, mengenang kisah entah cinta entah persahabatan, kenangan ditepi pantai menuliskan cerita dipasir halus sebelum ombak datang menghapus huruf demi huruf, sebuah kenangan yang tak hilang didalam ingatan, dan berharap pada tuhan kenangan itu bisa terulang lagi..
Tapi bisa saja tebakan saya salah, karena puisi itu memang multitafsir, tergantung situasi hati, suasana jiwa, pembaca,
tebakannya tidak salah sob? sebab, sebuah karya jika sudah berada di ruang publik, maka ia bebas diterjemahkan. salam:)
ReplyDelete